top of page
  • Instagram
  • LinkedIn
  • Facebook
  • Twitter

Asana Bina Seni: Inkubasi dan Kritisisme Seni

  • Writer: Hadiansyah Aktsar
    Hadiansyah Aktsar
  • Aug 30, 2023
  • 6 min read

Updated: Dec 29, 2024

Ketika berbicara tentang seni rupa, kurang afdol rasanya jika kita tidak menelaah tentang sejarah seni rupa itu sendiri. Namun sebelumnya, izinkanlah saya yang bukan siapa-siapa ini untuk mengulik sedikit tentang pemahaman awam saya tentang seni rupa sekaligus bagaimana keterlibatan saya sedikit banyak mewarnai perhelatan Asana Bina Seni 2023 yang diselenggarakan oleh Biennale Jogja sejak 2019 silam.

Sejarah seni rupa modern di Indonesia mungkin terbilang lebih rumit dibandingkan dengan sejarah seni rupa Barat, karena perjalanannya tidak bergerak linier dari seni tradisi/seni pertunjukan Indonesia yang telah ada bahkan sejak zaman prasejarah. Seni rupa dengan teknik seperti yang ada di Barat masuk ke Indonesia pada masa penjajahan Belanda, tepatnya pada abad ke-19. Saat itu, seorang pelukis bernama Raden Saleh belajar seni lukis di Eropa. Jakob Sumardjo dalam bukunya “Asal Usul Seni Modern Indonesia” menyatakan bahwa jejak Raden Saleh kemudian menjadi landasan bagi perkembangan seni rupa modern Indonesia. Dalam perkembangannya seiring dengan perjuangan menuju kemerdekaan, seni rupa menjadi salah satu aspek penting para seniman untuk menemukan citra keindonesiaan dalam seni, dengan tetap mempertahankan teknik seni rupa Barat yang dipengaruhi oleh Hindia Belanda pada saat itu.


            Sebagai seorang lulusan Seni Teater di Institut Kesenian Jakarta, saya memang pernah belajar sedikit tentang seni rupa, terutama yang menyangkut tentang set properti dalam pertunjukan teater. Saya sempat memerankan lakon “Suami-Suami” karya August Strindberg sebagai Adolf, seorang seniman Lukis yang mengalami tekanan mental karena menikahi seorang wanita poliandri bernama Tekla. Sebagai seorang aktor, meski belum pernah belajar melukis secara formal, saya dituntut untuk bisa melukis sebuah lukisan abstrak diatas canvas sebagai salah satu kebutuhan adegan. Disitulah saya mulai tertarik dengan seni lukis dan pada akhirnya juga seni rupa secara umum, terutama setelah dibukanya Museum Macan di Jakarta pada 2017.


            Beberapa tahun kemudian, ketertarikan saya kepada seni rupa semakin kuat ketika saya berkesempatan untuk melanjutkan kuliah S2 di University of Groningen, Belanda dengan jurusan Arts Policy and Cultural Entrepreneurship. Saat itu, salah satu dosen saya dalam sebuah diskusi di kelas meminta pendapat saya tentang karya kolektif Taring Padi dari Yogyakarta di Documenta fifteen yang menuai kritik tajam dari Pemerintah Jerman. Saya sebagai satu-satunya mahasiswa yang berasal dari Indonesia, yang saat itu bahkan belum tahu menahu tentang Documenta tiba-tiba gelagapan dan tidak tahu mau menjawab apa. Rasa penasaran akhirnya membuat saya mencari-cari informasi tentang apa itu Documenta, yang ternyata sebuah perhelatan seni rupa lima tahunan yang ternyata tak kalah bergengsi seperti Biennale. Documenta fifteen yang diselenggarakan pada Juni-September 2022 di Kassel, Jerman menuai kecaman setelah karya kolektif Taring Padi yang berjudul People’s Justice dituding sebagai karya anti semit, dengan simbol-simbol yang digunakan oleh NAZI dalam memberantas para kaum Yahudi di Jerman sebelum pecahnya Perang Dunia II. Meski kejadian itu sudah terjadi lebih dari setengah abad yang lalu, ternyata topik anti semit ini merupakan hal yang sangat sensitif di Jerman bahkan hingga detik ini. Saya pun tidak pernah berpikir bahwa suatu karya seni ternyata bisa saja menuai kritik dan kecaman yang sebegitu hebatnya. Disinilah akhirnya saya mulai penasaran mengenai tugas dan tanggung jawab seorang kurator.


Rasa ingin tahu dan keinginan untuk belajar mengenai manajemen kuratorial Seni Rupa pada akhirnya dikabulkan oleh Tuhan lebih cepat dari yang saya bayangkan. Pada awal Maret 2023, Biennale Jogja akhirnya menjawab email proposal saya untuk melakukan magang di Biennale Jogja. Kebetulan sekali, di waktu yang sama Biennale Jogja sedang menyelenggarakan Asana Bina Seni 2023. Program ini mengelaborasikan ide dan gagasan para seniman muda atau pemula melalui kelas dan inkubasi yang berlangsung selama bulan Februari-April 2023, yang kemudian dipamerkan pada 9-19 Juni 2023 di Taman Budaya Yogyakarta. Peserta terdiri dari seniman dan penulis/kurator yang terpilih melalui panggilan terbuka pada Februari 2023. Menariknya, untuk pertama kalinya Asana Bina Seni 2023 melibatkan para seniman, kolektif, penulis/kurator yang tidak hanya berasal dari Yogyakarta. Selain itu, dari segi partisipan, tahun ini Biennale Jogja menerima lebih dari 170 proposal dari seluruh seniman, kolektif dan penulis/kurator yang pada akhirnya terpilih sebanyak terdiri dari 15 seniman individu, 7 seniman kolektif dan 9 penulis/kurator yang yang berasal dari disiplin ilmu yang berbeda mulai dari lukis, fotografi, patung, musik/bunyi, sejarah, antropologi hingga teater atau performans yang berasal dari Sumatera, Jawa, Madura dan Kalimantan.



Mantan Wakil Walikota Yogyakarta, Drs. Heroe Poerwadi mengunjungi Pembukaan Pameran Asana Bina Seni 2023 didampingi Kepala TBY dan Kepala Dinas Kebudayaan Propinsi DIY
Mantan Wakil Walikota Yogyakarta, Drs. Heroe Poerwadi mengunjungi Pembukaan Pameran Asana Bina Seni 2023 didampingi Kepala TBY dan Kepala Dinas Kebudayaan Propinsi DIY

Saya diberi mandat oleh Biennale Jogja untuk menjadi Koordinator Program Publik pada pameran ini. Namun demikian, sejak April 2023 saya telah mengikuti proses inkubasi dan presentasi konsep karya seni para peserta yang akan dipamerkan di bulan Juni. Perbedaan waktu dan jarak antara Belanda dan Indonesia tidak menyurutkan semangat saya untuk mengikuti proses “penggemblengan” para peserta layaknya Gatotkaca yang dicelupkan di Kawah Candradimuka. Setibanya saya di Yogyakarta pada awal Juni, saya langsung dituntut beradaptasi cepat dan mempelajari lebih dalam tentang 22 karya para seniman yang akan dipamerkan; siapa saja seniman dan kurator/penulis yang terlibat dan mengulik bagaimana proses kreatif mereka dalam berkarya sekaligus mengobservasi riset tentang bagaimana para penulis/kurator mengelola gagasan dan ide para seniman untuk dituangkan kedalam sebuah karya seni yang layak diapresiasi.


Saya cukup tergelitik dengan beberapa karya para seniman yang terlibat di Asana Bina Seni 2023 ini. Tengok saja karya Aji Ardoyono yang berjudul "Evolusi Kenetika". Aji berusaha menyuarakan pencemaran lingkungan melalui metafor capung yang terancam punah karena habitatnya telah dicemari. Ia tidak hanya berhasil mengolah teknologi dan teknik kinetik untuk menghadirkan instlasi capung di ruang pamer secara estetik, namun juga membuka kesadaran para penikmat seni untuk merefleksikan kembali bagaimana seharusnya kita sebagai manusia memiliki kontrol dan kuasa untuk menyiasati perubahan iklim. Ada juga kolektif Sudut Kalisat yang menyindir Pemerintah Jepang atas eksploitasi besar-besaran gumuk pasir di Jawa Timur. Jepang sebagai Negara maju yang selalu berkoar tentang program pengendalian pencemaran lingkungan justru mengeksploitasi alam Negara dunia ketiga demi sebuah kepentingan tersier para warganya untuk menghadirkan Zen Garden. Ada juga yang mengkritisi soal posisi wanita dalam islam yang disajikan oleh Zuraisa. Sebagai seorang seniman muda lulusan pesantren yang juga pernah belajar Islamic Studies di Jerman, ia mengulik lagi memori pribadinya tentang bagaimana peran agama dan politik kebudayaan membentuk jarak dan sentimen sexist antara laki-laki dan perempuan yang dirasa masih kurang pas. Ada pula karya Fredy Hendra yang mewakili kaum gender minoritas di tanah air yang diberi judul "Rambut". Fredy menilai bahwa rambut adalah wilayah otonomi seorang manusia dan tak selayaknya mendapat kekangan norma dan tekanan sosial. Fredy (yang juga lulusan pesantren) dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang cukup konservatif selalu mendapat teguran dari keluarganya terutama ayah, karena sebagai laki-laki ia lebih suka memanjangkan rambut layaknya seorang perempuan. Fredy menghadirkan intalasi foto dirinya memakai kebaya dengan berbagai macam pose dengan rambut panjang berkonde di ruang pamer. Menariknya, ia juga menyajikan monolog yang menceritakan bagaimana pada akhirnya ia rela memotong rambut panjang pilihannya demi permintaan sang mendiang Ayah, diiringi lagu favorit sang almarhum sebagai wujud bakti seorang anak kepada orang tua.


Saya sebagai orang yang- sekali lagi - sangat awam di skena seni rupa melihat bahwa karya para peserta Asana Bina Seni 2023 sangatlah luar biasa. Berbagai macam isu dan keresahan kaum milenial berhasil dituangkan secara estetik serta mengundang banyak wacana dan perdebatan yang cukup menarik untuk terus dikaji ulang. Merenung kembali tentang kritisisme yang terjadi dalam perhelatan Documenta fifteen di Jerman, saya sempat berandai-andai jikalau karya "Rambut" milik Fredy menuai kecaman dari para komunitas muslim konservatif yang mungkin menganggap bahwa karyanya adalah sebuah kampanye LGBT. Walaupun - untung saja - hal itu tidak terjadi, pada akhirnya, peran kurator sangatlah penting untuk "membela" si seniman dan memberi justifikasi mengenai isu-isu yang sensitif agar publik tidak salah kaprah. Pada akhirnya, saya sadar bahwa ternyata siapapun bisa jadi seniman. Sebagai rakyat jelata, kita tidak perlu melulu turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi agar aspirasi kita bisa didengar. Namun yang tak kalah penting adalah, bagaimana kemudian Asana Bina Seni menjadi sebuah batu loncatan bagi para peserta untuk terjun di dunia seni yang sesungguhnya. Bagaimana karya-karya para seniman kedepan dapat diapresiasi oleh para publik dan pesan yang disampaikan dapat menjadi sebuah pertimbangan untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang adil, beradab dan bermartabat, baik di hadapan Tuhan, alam semesta ataupun para makhluk hidup lainnya.


Meskipun ada beberapa karya ciamik yang layak mendapat acungan jempol, ada beberapa presentasi karya peserta Asana Bina Seni 2023 yang secara eksekusi sangatlah kurang menarik dan terlihat "jomplang" diantara karya-karya disekitarnya, walaupun ide dan gagasannya sebetulnya sangat menarik dan perlu mendapat perhatian lebih dari para pengunjung pameran. Disinilah peran penting para penulis/kurator dan Biennale Jogja sebagai penyelenggara untuk "bertanggung-jawab" dalam menjaga komunikasi dan melakukan monitoring terhadap progres karya para seniman agar proses pengkaryaan lebih matang dan Asana Bina Seni tidak hanya menjadi sebuah ajang presentasi karya para seniman pendatang baru, namun juga layak disandingkan dengan pameran-pameran seni rupa lain yang cukup populer dan berkualitas.

تعليقات


© 2023 by Hadi Aktsar. All rights reserved.

bottom of page